Jakarta,- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah memproses hukum dugaan kecurangan atau fraud atas klaim BPJS Kesehatan. Kecurangan tersebut terjadi di tiga rumah sakit dan menyebabkan kerugian negara Rp35 miliar.
Tiga rumah sakit tersebut, kata dia, merupakan dua rumah sakit swasta di Jawa Tengah (Jateng) dan satu RS di Sumatera Utara (Sumut). Pahala menyampaikan inisial 3 RS tersebut berikut potensi kerugian negara, yakni RS A di Sumut Rp1 miliar sampai Rp3 miliar.
“Dua RS lainnya, yakni RS B di Sumut sekitar Rp4 miliar sampai dengan Rp10 miliar, dan RS C di Jateng Rp20 miliar sampai dengan Rp30 miliar. Proses penegakan hukum diambil setelah tim gabungan fokus menelusuri modus phantom billing atau klaim palsu dan manipulasi diagnosis,” kata Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK Pahala Nainggolan dalam ‘Diskusi Media: Kecurangan Klaim BPJS Kesehatan dan Pencegahannya’ di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (24/7/2024).
“Tim gabungan tersebut, terdiri dari KPK, Kementerian Kesehatan, BPJS Kesehatan, dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Tim ini terjun langsung ke lapangan menelusuri modus phantom billing dan manipulasi diagnosis tersebut.”
Phantom billing, ujarnya, merupakan klaim atas layanan yang tidak pernah diberikan. Sedangkan manipulasi diagnosis, tambah dia, merupakan pemalsuan rekam medis.
“Setidaknya terdapat tagihan BPJS Kesehatan terhadap 4.300 kasus fisioterapi di tiga rumah sakit dimaksud. Namun, setelah ditelusuri, ternyata hanya 1.000 kasus fisioterapi yang memiliki catatan medis,” kata dia.
“Begitu juga dengan katarak. Dari 39 pasien yang diklaim harus operasi, ternyata hanya 14 orang saja yang patut dioperasi.”
Parahnya, sebut pahala, pasiennya enggak ada, terapi tidak ada, tetapi dokumen dibuat seolah ada layanan kesehatan. Dia menduga ada dugaan kongkalikong antara petugas, dokter hingga manajemen RS untuk melakukan phantom billing.
RS awalnya, ucap dia, mengumpulkan KTP masyarakat melalui bakti social. Kemudian, tambahnya, dokter yang sudah tidak bertugas seakan memeriksa pasien dan membuat surat eligibilitas peserta BPJS.
“Selain itu, turut dibuat rekam medis, resume medis, catatan perkembangan pasien terintegrasi, dan pemeriksaan penunjang palsu. RS lalu mengajukan klaim ke BPJS Kesehatan,” katanya.
KPK, kata dia, meyakini kecurangan tersebut juga terjadi di RS lain baik milik pemerintah maupun swasta. Untuk itu, Pahala mengingatkan RS untuk menghentikan praktik curang, karena KPK tidak segan memproses hukum RS yang mengabaikan peringatan.