Jakarta,-Kecelakaan hebat yang menimpa pesawat Boeing 737-800 Jeju Air, pada Minggu (29/12/2024), membuat dunia penerbangan berduka. Kecelakaan tersebut tercatat menewaskan 179 penumpang dan awaknya saat hendak mendarat di Bandara Muan, Korea Selatan.
Mantan pilot senior Hanafi Herlim menyampaikan analisisnya terkait kemungkinan pesawat Jeju Air gagal melandas dengan sempurna. Diketahui, kecelakaan terjadi beberapa saat setelah pesawat itu mencoba mendarat dengan posisi belly-landing.
Pilot mencoba mendarat dengan posisi belly-landing, yakni ketika roda pendaratan tidak berfungsi. Hanafi menyebut, pesawat nahas itu kemungkinan mengalami bird strike, atau gangguan serangan burung terhadap pesawat.
“Dari sisi kepilotan, yang saya dapatkan dari berita adalah pada saat normal approach. Semuanya berjalan normal condition,” kata Hanafi dikutip dari akun IG pribadinya, Minggu (29/12/2024).
“Namun, saat final approach atau sekitar 600 atau 700 feet, saat itu, semua sudah landing configuration. Landing gear sudah down, flaps sudah full down, lalu terjadilah bird strike,” ujarnya.
Menurut Hanafi, kemungkinan sang pilot menjelang pesawat menyentuh landasan, berubah pikiran karena roda pendarat tidak keluar. Sehingga pilot memutuskan untuk mencoba menaikkan lagi pesawatnya (go around), tetapi ternyata sudah kehilangan tenaga.
“Bird strike itu mengakibatkan engine menjadi masalah pada saat itu, lalu pilot memutuskan untuk go around. Diperintahkan kepada co-pilotnya go round, lenugir up, flex fifty, mungkin seperti itu ya,” ucap Hanafi.
“Jadi, landing gear sudah up, flex juga sudah masuk ke 15, lalu pada saat power full, nah di situlah problem terjadi. Engine tidak mau gaining up, karena terjadi bird strike,” ujarnya menganalisis.
Kemudian, lanjutnya, karena pesawat tidak bisa go around, pilot akhirnya mengambil keputusan untuk dipaksakan landing. “Karena dengan posisi yang sangat-sangat kritis, pilot harus bisa mengambil keputusan apa yang harus dia lakukan,” katanya.
Ia menyebut, dalam kondisi tanpa tenaga, bisa jadi pilot mencoba memaksakan untuk landing. Yaitu, belly landing dengan mendarat tanpa roda.
“Jadi, tanpa ada persiapan apa-apa sama sekali, saya bisa membayangkan, pada saat posisi sekitar 600 atau 700 feet. Posisi normal condition lalu dia mau go round landing gear sudah up, lalu dia ambil keputusan untuk landing lagi, akhirnya ketinggian,” kata Hanafi.
Setelah ketinggian, pada saat pilot mau mendarat, pesawat berhasil masuk ke dalam landasan. “Akhirnya, tetap dapat mendarat, namun karena terlalu cepat, waktu terlalu singkat terjadilah crash,” ujarnya.
Padahal, menurut Hanafi, posisi landing sudah tepat dan sudah masuk ke landasan. “Ini artinya memang sangat ketinggian pada saat itu, maka terjadilah kecelakaan yang tidak diharapkan itu,” ucap Hanafi.
Namun demikian, saat ini penyebab pasti jatuhnya pesawat yang mengangkut 181 orang itu masih akan diinvestigasi. Nantinya, komisi keselamatan penerbangan setempat akan menyampaikan secara resmi penyebab utama kecelakaan tersebut.