Jakarta,-Pemborosan devisa akibat warga berobat ke luar negeri yang angkanya mencapai Rp200 triliun, menuai kritik. Angka tersebut dinilai terlalu besar dibanding belanja kesehatan nasional tahun 2024 yang mencapai Rp670 triliun.
Ketua Ikatan Ekonom Kesehatan Indonesia, Hasbullah Thabrany mengatakan, jika angka itu dijadikan pemicu reformasi kesehatan, maka patut dipertimbangkan. Ia menyebut fenomena ini mencerminkan krisis kepercayaan terhadap layanan rumah sakit dalam negeri.
“Malaysia, Singapura, dan Korea Selatan kerap menjadi pilihan karena dianggap lebih berkualitas dan terjangkau. Warga dari Aceh, Medan, dan Riau memilih ke Penang karena lebih dekat dan efisien,” kata Hasbullah Thabrany, Rabu (25/6/2025).
Menurut dia, jika rumah sakit lokal terjangkau dan berkualitas, masyarakat tak perlu ke luar negeri. Fenomena ini juga melibatkan pejabat yang berobat ke luar negeri dan menjadi contoh bagi masyarakat.
“Hal ini memperkuat persepsi bahwa layanan kesehatan Indonesia belum memadai. Reformasi sistem kesehatan dinilai penting untuk mengembalikan kepercayaan publik,” kata Hasbullah.
Ia juga menyebut banyak rumah sakit besar enggan bekerja sama dengan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) karena tarif pembayarannya rendah. Hal ini membuat pasien kelas menengah ke atas sulit menggunakan BPJS Kesehatan di rumah sakit langganan mereka.
“Akibatnya, sebagian masyarakat memilih berobat ke luar negeri. Padahal, seharusnya Indonesia bisa menarik pasien asing jika pelayanannya baik,” ujar Hasbullah.
Soal angka pemborosan devisa Rp200 triliun, Hasbullah meminta adanya klarifikasi rinci. Menurut Hasbullah, pengeluaran itu bisa termasuk belanja nonmedis, seperti biaya hotel dan belanja mewah.
Sektor seperti farmasi, alat kesehatan, hingga tenaga kerja rumah sakit pun ikut terdampak. Hasbullah menyebut bahwa pemberdayaan sektor kesehatan dalam negeri masih lemah.

