Jakarta,-Marfasran Hendrizan, Peneliti Ahli Madya Pusat Riset Iklim dan Atmosfer (PRIMA) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), mengungkapkan Indonesia pernah mengalami peningkatan suhu hingga 3 derajat celsius di masa lampau. Fakta itu membuat Indonesia masuk dalam ‘kolam terpanas’ dunia.
“Peningkatan suhu 3 derajat celsius itu menjadikan suhu ekstrem di wilayah Indonesia membutuhkan waktu yang sangat lama, sekitar kurang lebih 7.000 tahun. Namun, peningkatan suhu 3 derajat celsius, bahkan lebih, di masa depan hanya butuh waktu kurang dari 100 tahun,” kata Hendrizan.
Ia menjelaskan riset paleoklimat berfokus pada pengungkapan sejarah perubahan iklim masa lampau. Hal ini untuk membantu memahami perubahan iklim dan dampaknya di masa kini dan masa depan.
Indonesia yang berada di kawasan tropis memang termasuk dalam ‘kolam terpanas’ dunia. Wilayah ini memiliki aktivitas konveksi tinggi dengan curah hujan yang besar, tetapi cakupan datanya masih terbatas.
Menurut Hendrizan, data iklim yang tersedia saat ini belum cukup untuk melakukan analisis mendalam, sehingga dibutuhkan tambahan data geologi. “Salah satu cabang ilmu geologi adalah paleoklimat, ilmu yang mempelajari iklim masa lampau, dapat menyediakan data jangka panjang yang mengisi celah dari data observasi modern,” ia menjelaskan.
Hendrizan menyebut, akurasi proyeksi iklim, baik masa lampau maupun masa depan, membutuhkan coverage data yang lebih panjang. Dengan begitu kualitas proyeksi iklim berdasarkan model menjadi lebih akurat.
“Studi paleoklimat menggunakan proksi untuk memahami perubahan lingkungan. Bahkan dari skala waktu yang berbeda beda,” Hendrizan menyebutkan.
Paleoklimat di masa lampau menunjukkan adanya perbedaan temperatur maupun kenaikan CO2 dan muka laut. Parameter-parameter tersebut digunakan sebagai acuan untuk merekonstruksi paleoklimat di masa lampau.
Dalam paleoklimat, jelas Hendrizan, harus memperhitungkan skala waktu. Artinya, tidak bisa menggabungkan secara acak skala waktu kondisi modern dan masa lampau.
“Beberapa arsip geologi memberikan kelebihan dan kelemahan dalam rekonstruksinya. Maka, dibutuhkan kerja sama antarahli paleoklimat untuk menjawab permasalahan riset ini,” Hendrizan menuturkan.
Contohnya, sedimen laut memberikan rentang waktu yang panjang sampai jutaan tahun. Namun, memberikan resolusi data dengan kualitas rendah, seperti centennial, millennial, atau orbital.
“Sedangkan koral sebagai contoh lainnya memberikan rentang waktu yang pendek hingga ribuan tahun, tetapi memberikan resolusi tinggi, sehingga diperoleh skala waktu bulanan, musiman, antar tahunan, ataupun dekadal. Nah, untuk mendapatkan rekonstruksi paleoklimat yang komprehensif harus ada komplimen antararsip geologi,” ujar Hendrizan.
Adapun objek penelitian yang digunakan sebagai sampel untuk mendapatkan temperatur adalah foraminifera. Foraminifera adalah plankton yang hidup di lautan dan memiliki dinding cangkang kalsit.
“Ketika hidup sebagai zooplankton, foraminifera menangkap sinyal-sinyal iklim. Bisa dari suhu, salinitas, oksigen, pH, dan lain-lain,” Hendrizan menyebutkan.
Sinyal tersebut, sambungnya, akan tersimpan pada cangkang foraminifera dan ikut terbawa sampai foraminifera tersebut mati dan terkubur. Semakin lama terkubur, semakin lama arsip itu tersimpan.
“Foraminifera yang terkandung dalam sedimen di lautan, kemudian dieksplorasi menggunakan kapal riset. Seperti itu cara untuk mendapatkannya,” kata peneliti yang tergabung dalam Kelompok Riset Iklim dan Lingkungan Masa Lampau ini.
Rasio unsur magnesium dan kalsium yang terdapat di cangkang foraminifera, terbukti memiliki korelasi positif antara temperatur dengan magnesium kalsium. Makin tinggi magnesium kalsium, maka makin tinggi nilai isotopik dari temperatur yang ada.
Dari penelitian rasio magnesium dan kalsium, ditemukan Indonesia pernah mengalami peningkatan suhu hingga 3 derajat celsius di masa lampau. Data ini membuktikan pemanasan ekstrem di masa lampau dapat menjadi acuan untuk memahami kondisi iklim dan oseanografi saat pemanasan tersebut terjadi.
Hendrizan menuturkan, seharusnya, pengetahuan tersebut dapat dijadikan bahan kesiapsiagaan apabila skenario pengurangan emisi global tidak terkendali di masa depan. Sebab, batas aman 1,5 derajat celsius dari Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim atau IPCC pernah terlewati di wilayah Indonesia.
Mengingat pentingnya sedimen untuk pengetahuan perubahan iklim di masa depan, Hendrizan pun memberi pesan. Pesannya agar sedimen yang menjadi polemik di tengah masyarakat beberapa waktu lalu bisa dijadikan perhatian pemerintah.
“Perlu kajian distribusi sedimen secara saintifik yang lebih mendalam. Ini sebelum sedimen tersebut dipindah ke tempat lain,” ia memungkasi.(nu/ed: kg, mg, tnt)