Jakarta, -Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mendorong pemerintah segera menerapkan penarikan cukai terhadap minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK). Hal ini, kata Kordinator Advokasi Pangan YLKI Rully Prayoga, sebagai langkah mencegah makin banyaknya masyarakat Indonesia, khususnya anak muda terkena diabetes dan penyakit ginjal.
“Cukai semangatnya adalah sebagai langkah pembatasan. Agar para produsen minuman berpemanis mengambil langkah-langkah inovasi dalam produknya untuk mengurangi kadar gula yang berbahaya bagi kesehata, ” katanya, Seni (27/1/2025).
“Artinya, MBDK dengan kadar gula tinggi akan terkena cukai yang membuat harga produk jadi mahal. Tentu saja ini akan mempengaruhi penjualan produk mereka yang memaksa mereka harus berinovasi,” kata Rully.
Selain itu, kata Rully, dana dari hasil cukai minuman berpemanis tersebut dapat digunakan untuk program pencegahan diabetes dan penyakit ginjal. “Selain itu, bisa juga digunakan sebagai biaya kesehatan atau pengobatan penderita diabetes dan penyakit ginjal yang selama ini cukup besar ditanggung BPJS kesehatan,” katanya.
Apalagi, kata dia, potensi cukai MBDK jika diterapkan pada 2025 cukup besar untuk pemasukan negara. Totalnya, sebut Rully, bisa mencapai Rp3,2 triliun.
Dia menyayangkan hingga kini kebijakan tersebut belum dilakukan. Padahal, katanya, hal itu harusnya sudah dilaksanakan sesuai Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Cukai sebagaimana terakhir diubah dengan UU No 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
“Mungkin saja ini ada tekanan dari kalangan dunia usaha agar cukai MBDK tersebut tidak diterapkan segera. Mereka takut produknya tak laku, karena masyarakat sudah kecanduan dengan minuman berpemanis seperti yang beredar di pasaran saat ini,” ujarnya.
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) sebelumnya merilis data yang menunjukkan bahwa prevalensi anak penderita diabetes meningkat 70 kali lipat pada Januari tahun 2023 daibandingkan tahun 2010. IDAI mencatat 1.645 anak di Indonesia yang menderita diabetes di mana prevalensi nya sebesar 2 kasus per 100.000 anak.
Hampir 60% penderitanya adalah anak perempuan. Sedangkan berdasarkan usainya, sebanyaj 46% berusia 10-14 tahun, dan 31% berusia 14 tahun ke atas.