Medan,- Sejumlah pelaku industri di Sumatera Utara dibuat kalang kabut dengan buruknya distribusi gas ke perusahaan mereka. Akibat kondisi ini, sejumlah perusahaan dikabarkan terpaksa melakukan Shut down atau berhenti beroperasi akibat tidak adanya suplay gas ke perusahaan mereka.
Salah seorang pengusaha di Kota Medan mengaku, akibat buruknya suplay gas dari Perusahaan Gas Negara (PGN) tersebut perusahaan mereka terpaksa merugi hingga mencapai Rp 5 Miliar/hari. “Kami terpaksa melakukan shut down. Kondisi ini membuat kami rugi 5 miliar rupiah/hari,” ungkapnya kepada wartawan di Medan, Kamis (17/10/2024).
Diakuinya, kondisi buruknya suplay gas ke sejumlah perusahaan industri terjadi sekitat satu minggu. “Buruknya distribusi gas terjadi lebih dari satu minggu dan sampai sekarang kondisinya masih nol,” ungkapnya.
Dengan kondisi ini, para pelaku bisnis meminta Pemerintah segera melakukan tindakan agar dunia industri tidak mengalami kerugian lebih besar lagi. “Kita meminta pemerintah bisa tegas segera menyelesaikan persoalan ini. Kalau tidak para pelaku industri di Sumatera Utara bisa mengalami kerugian besar, ” katanya.
Terpisah, kuasa hukum sejumlah perusahaan yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Ali Leonardi, N, SE,SH, MBA,MH mengaku sangat menyayangkan buruknya tata kelola gas negara dibawah Perusahaan Gas Negara (PGN) hingga mengakibatkan banyak perusahaan terganggu dalam melakukan produksi.
“Ini sebuah preseden buruk bagi dunia industri. Bagaimana tidak, gas yang merupakan elemen penting dalam menggerakan idustri tidak dikelola dengan baik,” ungkapnya.
Jika persoalan ini terus berlarut tanpa adanya tindakan untuk memperbaiki tata kelolanya, maka diyakini para pelaku industri tidak akan menjadikan Sumatera Utara bahkan Indonesia sebagai tujuan investor. “Ini yang patut diperhatikan, jangan sampai persoalan ini malah membuat investor tak nyaman untuk berinvestasi,” katanya.
Tidak hanya itu, Advokat kondang asal Kota Medan ini juga meniai perjanjian jual beli gas antara PGN dengan dunia Industri sangat merugikan. Seperti termaktub di Perjanjian Jual Beli Gas Pelanggan Komersial dan Industri pada pasal 9 terkait Penyelesaian Perselisihan dan Hukum yang Berlaku. Dalam pasal tesebut teruang diantaranya, (1) Apabila terjadi perselisihan mengenai penafsiran dan pelaksanaan ketentuan- ketentuan dalam Perjanjian, Ketentuan Umum dan Ketentuan Produk, Para Pihak akan berusaha menyelesaikannya secara musyawarah untuk mufakat. (2) Apabila musyawarah tidak dapat menghasilkan kesepakatan dalam waktu 60 (enam puluh) hari sejak dimulainya musyawarah, maka Para Pihak sepakat untuk menyelesaikan perselisihan tersebut melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. (3) Setelah salah satu Pihak mengajukan gugatan ke pengadilan, PGN akan melakukan penghentian aliran Gas sementara kepada Pelanggan. Apabila sampai dengan 12 (dua belas) Bulan sejak tanggal didaftarkannya gugatan di pengadilan atau sampai dengan berakhirnya jangka waktu Perjanjian (mana yang terjadi lebih dahulu), belum terdapat putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum yang tetap, maka PGN berhak melakukan pencabutan meter Gas dan/atau pengakhiran Perjanjian ini.(4) Perjanjian ini tunduk dan ditafsirkan menurut hukum Negara Republik Indonesia.
“Bunyi point ke tiga jelas sangat merugikan pelaku industri, kemudian penyelesaian perselisihan juga tidak dilakukan di Sumatera Utara melainkan di PN Jakarta Pusat,” selain itu diduga Clausula tersebut diatas merupakan “Jurus menyelamatkan diri “ pihak PNG sebagai penekanan terhadap pihak pelangan agar tidak menggugat PNG,” ungkapnya.